SeLaMaT DaTanG Di SeBuaH TeMPaT yG PaLinG iNDaH Di DuNiA iNi.....!!!!

SeLaMaT DaTanG Di SeBuaH TeMPaT yG PaLinG iNDaH Di DuNiA iNi.....!!!!DuNiA SeNi "YuDi iLHaM"

Sabtu, 14 Januari 2012

"Gerabah" : Sejarah dan Peranannya

Dalam dunia arkeologi istilah gerabah sudah sangat terkenal. Namun, orang awam pun mengenalnya dari sisi yang lain. Berbegai benda yang dihasilkan oleh para pengrajin, seperti gentong, pasu, pot bunga, mangkok, cobek, kendi, dan sebagainya, serta seringnya diadakan pameran, menandakan benda ini cukup populer di mata masyarakat.
Istilah gerabah ini biasanya untuk menunjukkan barang pecah belah yang terbuat dari tanah liat. Selain dengan sebutan di atas, ada pula sebagian orang menyebutnya dengan tembikar dan sebagian lagi keramik lokal, untuk membedakannya dari istilah keramik asing.
Gerabah dibuat dari satu atau dua jenis tanah liat yang dicampur. Warnanya tidak bening, berpori, dan bersifat menyerap air. Campuran yang digunakan terdiri dari pasir kasar atau pasir halus, dan pembakarannya antara 1000-1150 derajad Celcius. Kadang-kadang lebih rendah dari itu.
Diduga gerabah pertama kali dikenal pada masa neolitik (kira-kira 10.000 tahun SM) di daratan Eropa dan mungkin pula sekitar akhir masa paleolitik (kira-kira 25.000 tahun SM) di daerah Timur Dekat. Menurut para ahli kebudayaan, gerabah merupakan kebudayaan yang universal (menyeluruh), artinya gerabah ditemukan di mana-mana, hampir di seluruh bagian dunia. Perkembangannya bahkan juga penemuannya muncul secara individual di tiap daerah tanpa harus selalu mempengaruhi. Mungkin juga masing-masing bangsa menemukan sendiri sistem pembuatan gerabah tanpa adanya unsur peniruan dari bangsa lain.
Gerabah muncul pertama kali pada waktu suatu bangsa mengalami masa foodgathering (mengumpulkan makanan). Pada masa ini masyarakat hidup secara nomaden, senantiasa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam corak hidup seperti itu wadah gerabah dapat digunakan secara efektif karena gerabah merupakan benda yang ringan dan mudah dibawa-bawa. Selain itu gerabah juga merupakan benda yang kuat, paling tidak lebih kuat daripada yang dibuat dari bahan lain, seperti kayu, bambu atau kulit binatang.
Yang terpenting, bahan pembuatan gerabah mudah didapat. Tanah liat terdapat di mana-mana. Karena itu adalah suatu hal yang wajar jika setiap masyarakat bisa menjadi produsen bagi kepentingannya sendiri. Akan tetapi mengenai proses ‘penemuan’ gerabah itu sendiri, belum satu orang pun bisa menguraikannya secara ilmiah. Barangkali bisa diuraikan begini. Pada waktu itu beberapa orang sedang membakar hasil buruannya. Kebetulan pembakaran itu dilakukan di atas tanah yang tergolong jenis tanah liat. Setelah selesai membakar daging itu, mereka mendapatkan tanah di bawahnya berubah menjadi keras. Dari sinilah muncul gagasan untuk membuat suatu wadah dari tanah liat yang dibakar.
Pembuatan gerabah jelas membutuhkan api sebagai faktor yang utama, meskipun panas matahari barangkali dapat juga dipakai untuk fungsi yang sama. Karena itu dapat dipastikan bahwa munculnya gerabah merupakan efek lain dari penemuan dan domestikasi api. Masyarakat yang belum mengenal api tentulah mustahil bisa memproduksi gerabah. Dengan demikian, tafsiran bahwa gerabah mula pertama dikenal pada masa neolitik dapat diterima, sebab penemuan dan domestikasi api baru dikenal pada akhir masa paleolitik atau awal masa neolitik.
Melalui temuan-temuan lainnya diketahui bahwa pada masa itu manusia hidup dalam corak berburu dan mengumpulkan makanan. Usaha mengumpulkan makanan berarti membutuhkan ‘sesuatu’ untuk wadah makanan tersebut. Dalam hal ini wadah yang paling tepat adalah gerabah karena gerabah mudah dibawa ke mana saja. Dan ini sesuai dengan corak hidup nomaden. Karena itulah gerabah memiliki arti yang penting bagi manusia, sehingga ia dapat diterima dalam setiap kebudayaan dan terus semakin berkembang selama belum ditemukan wadah lain yang memiliki tingkat efektifitas setinggi gerabah.
Penggunaan wadah gerabah oleh suatu kelompok manusia memiliki arti penting bahkan jauh lebih penting daripada yang bisa kita bayangkan. Dengan dikenalnya wadah yang kecil, mudah dibawa dan kuat, suatu kebudayaan maju selangkah lagi ke arah kebudayaan yang lebih tinggi. Apa lagi dengan dikenalnya corak kebudayaan hidup menetap, fungsi gerabah semakin meluas. Kebutuhan gerabah yang beraneka ragam melahirkan tipe-tipe gerabah yang semakin banyak. Kalau sebelumnya digunakan wadah lain yang jauh lebih sulit diperoleh, kini mereka bisa membuat wadah gerabah yang lebih mudah didapat.
Gerabah sebagai salah satu benda hasil kebudayaan manusia merupakan unsur yang paling penting dalam usaha untuk menggambarkan aspek-aspek kehidupan manusia. Sampai kini gerabah yang berhasil ditemukan terutama berbentuk wadah, seperti periuk, cawan, pedupaan, kendi, tempayan, piring, dan cobek.
Gerabah atau kereweng (pecahan gerabah) sering kali ditemukan di anatara benda-benda lain pada situs arkeologi. Untuk keperluan studi arkeologi temuan ini sangat besar manfaatnya, karena gerabah merupakan alat penunjuk yang baik dari kebudayaan yang berbeda. Beberapa kereweng yang dapat dikenali tipenya bisa digunakan untuk menanggali benda-benda lain yang ditemukan di sekitarnya dan dapat pula digunakan untuk menentukan hubungannya dengan kebudayaan lain. Selain itu gerabah merupakan benda yang sulit hancur sama sekali, terlebih lagi kalau tersimpan dalam tanah. Itulah sebabnya gerabah yang telah berusia puluhan ribu tahun pun masih bisa dikenali. Demikianlah melalui studi "gerabah" ini, arkeologi bisa berbicara banyak tentang masa lampau umat manusia. Asal saja para ahli dapat membaca dengan baik cerita-cerita yang didapat darinya.